Siapa Bilang Laki-Laki Nggak Boleh Nangis?

Tanpa disadari, kadang kita ikut mereproduksi narasi maskulinitas toksik yang ada di masyarakat padahal siapa bilang hanya ada satu cara untuk menjadi ‘laki-laki’?

Sashi Kirana
8 min readJan 11, 2021

Ayahku selalu berkata padaku
Laki-laki tak boleh nangis
Harus selalu kuat, harus selalu tangguh
Harus bisa jadi tahan banting

Bait di atas adalah kutipan lirik lagu jadul berjudul Bukan Superman milik grup band The Lucky Laki yang beranggotakan ketiga putra dari musisi Ahmad Dhani. Ketika pertama kali mendengarnya di tahun 2009, saya — sebagai seorang anak delapan tahun — tidak merasa ada yang aneh. Tidak aneh ketika seorang laki-laki diajarkan untuk tidak menangis, tidak janggal ketika seorang laki-laki disuruh untuk selalu kuat, dan wajar saja ketika seorang laki-laki dituntut untuk tahan banting. Saat itu, menurut saya, laki-laki sudah sepatutnya berlaku tangguh dan kuat.

Ketika masih SD, saya ditempatkan di kelas kecil yang hanya berisi lima orang siswa dan hanya ada satu murid laki-laki di kelas saya. Kami berlima selalu bersama-sama di sekolah dan karena itu, cukup banyak orang yang mengganggu teman laki-laki saya. Selain karena ia kurang bisa bergaul dengan sesama lelaki dan lebih memilih berteman dekat dengan perempuan, teman saya juga tidak pandai olahraga dan memiliki hobi bernyanyi — yang tentu jauh berbeda dengan laki-laki lain di sekolah saya yang saat itu lebih suka bermain bola dan mengoleksi action figure. Gerak-gerik dan cara bicara teman saya pun terbilang halus, tidak ada kasar-kasarnya sama sekali. Hal ini membuatnya semakin sulit berteman dengan anak laki-laki seumurannya.

Kerap kali, beberapa guru dan anak sekolah kami menyuruh teman saya untuk bersikap ‘lebih seperti laki-laki’ padahal kalau dipikir-pikir lagi, memangnya bagaimana seorang laki-laki seharusnya bertindak? Mengapa teman saya dianggap kurang seperti laki-laki? Apakah ada serangkaian aturan yang menentukan bagaimana seorang lelaki harus bertindak, bersifat, bahkan berbicara?

Memasuki SMP dan SMA, tentu teman sekelas saya semakin banyak dan semakin banyak pula figur laki-laki yang tampil di sekitar saya. Salah satu hal yang membekas tentang laki-laki dari SMP dan SMA bagi saya adalah selalu ada lingkaran pertemanan laki-laki yang dianggap lebih keren dibanding yang lain karena anggotanya pintar berkelahi, suka nongkrong di warung dekat sekolah, dan tidak sedikit dari mereka yang merupakan perokok. Sejak awal SMA, saya selalu bertanya-tanya mengapa lingkaran pertemanan seperti itu dianggap lebih hebat, lebih maskulin, bahkan lebih tinggi kedudukannya dalam strata sosial dibanding yang lain?

Karena saya tidak berhasil mendapat jawaban ketika SMA, saya kemudian menanyakan kepada salah satu teman kuliah saya tentang hal ini. Ia sendiri tidak bisa memberikan saya jawaban yang pasti, hanya mengatakan bahwa memang sudah seperti itu ‘dari sananya’. Teman kuliah saya ini juga bergaul dengan lingkaran pertemanan yang serupa saat masih SMA. Berdasarkan wawancara kecil yang saya lakukan dengannya, ia bahkan mulai merokok karena berusaha fit in di lingkaran tersebut. Beberapa laki-laki lain yang saya tanyakan ternyata juga mengalami hal yang sama: mulai merokok atau mengonsumsi minuman keras karena ingin diterima di lingkaran pertemanan yang keren dan ingin terlihat lebih maskulin.

Hal ini semakin membuat saya bertanya-tanya, memangnya laki-laki yang maskulin itu laki-laki yang seperti apa? Apakah menjadi maskulin adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh semua laki-laki? Mengapa maskulinitas menjadi sangat penting untuk laki-laki dan mengapa banyak lelaki yang mau melakukan hal-hal tertentu untuk dianggap maskulin atau diterima oleh lingkungan mereka?

Berangkat dari rasa penasaran ini, saya melakukan survei kecil di halaman Instagram saya beberapa waktu lalu. Hanya ada tiga pertanyaan yang saya ajukan: sifat seperti apa saja yang seharusnya dimiliki oleh seorang lelaki, penampilan fisik seperti apa yang ideal untuk laki-laki, serta karakteristik seperti apa saja yang membuat laki-laki dianggap maskulin. Jawaban yang saya dapatkan cukup menarik dan beragam, tetapi tentu ada beberapa jawaban yang mirip dan beberapa kata yang sering kali digunakan untuk menjawab pertanyaan yang sama.

Hal yang menurut saya menarik adalah teman-teman lelaki saya yang menjawab survei tersebut banyak menuliskan bahwa sifat yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki adalah gagah, tegas, dan memiliki jiwa kepemimpinan. Setelah ditelurusi lebih lanjut, ternyata pemikiran ini berakar dari narasi bahwa pria sudah seharusnya menjadi kepala keluarga sekaligus breadwinner atau pencari nafkah utama dalam keluarga. Narasi ini pun didukung dengan ajaran agama yang terkesan menempatkan laki-laki sebagai sosok yang lebih dominan dibanding perempuan dalam berbagai sisi, sebagai sosok pemimpin yang selalu melindungi keluarganya.

Di luar ekspektasi saya, pembicaraan menyangkut agama cukup sering muncul dalam jawaban teman laki-laki saya saat ditanyakan dengan maskulinitas. Ada yang menjawab bahwa seorang laki-laki seharusnya adalah pribadi yang shaleh, ada pula yang mengatakan bahwa ia mengagumi laki-laki yang sholat lima waktu dan menerapkan nilai-nilai agama. Salah satu teman bahkan mengatakan bahwa kadang ia merasa dituntut untuk menjadi imam dan menghafal lebih banyak surah Alquran oleh keluarganya. Dari jawaban ini, saya jadi tertarik untuk mencari lebih dalam tentang bagaimana agama — dalam konteks ini, agama Islam — menggambarkan laki-laki dan maskulinitas.

Sumber: Preston Smiles via Instagram

Menurut berbagai akademisi (Moghadam, 2003; Ross, 2008), nilai-nilai patriarki memang sangat kental dalam Islam. Belum lagi, wacana poligami yang sering dielu-elukan oleh sebagian muslim yang menggambarkan seakan-akan memiliki istri lebih dari satu adalah sesuatu yang patut dibanggakan dan membuatnya lebih ‘hebat’ atau ‘maskulin’ dibanding pria lainnya (van Wichelen, 2009). Nilai-nilai patriarki yang tertanam dalam masyarakat melalui tatanan sosial — terutama agama karena perannya masih sangat terasa di Indonesia— inilah yang membuat adanya konsepsi bahwa satu pihak lebih ‘ditinggikan’ dan ‘diuntungkan’ dibanding cara hidup lainnya (Wadud, 2009). Dalam konteks patriarki, pihak yang diuntungkan atau privileged adalah pria yang memenuhi kriteria maskulinitas di masyarakat.

Walaupun wacana maskulinitas dalam masyarakat sudah sering ditentang dan ditantang, tentu saja tidak mudah untuk benar-benar menghapus narasi ini sepenuhnya. Seperti yang sudah sempat saya singgung di awal, selain agama, media pun berperan penting dalam melanggengkan nilai-nilai maskulinitas. Laki-laki maskulin selalu digambarkan sebagai laki-laki yang berbadan besar, bersuara rendah, dan pintar baku hantam. Hal ini diakui oleh salah satu teman lelaki yang sempat saya wawancara: di benaknya, sosok pemeran utama dalam film action — seperti Van Damme dan Arnold Schwarzenegger — adalah definisi dari laki-laki maskulin. Ia juga merasa dirinya tidak maskulin karena tidak memiliki fisik seperti para figur pria tersebut.

Di sisi lain, media juga turut andil dalam pembentukan stereotip. Ketika ada tokoh fiksi lelaki yang memiliki suara cempreng, cerewet, atau memiliki gestur yang agak halus, biasanya tokoh tersebut sering diejek atau dilabeli sebagai ‘banci’ dan sebutan tidak mengenakkan lainnya. Media menciptakan gambaran atau stereotip bahwa laki-laki yang ideal adalah laki-laki yang agresif dan kuat, bukan laki-laki yang banyak bicara dan sensitif. Mungkin hal seperti ini terkesan harmless pada awalnya, tetapi lama-kelamaan, nilai-nilai maskulinitas dapat berubah menjadi berbahaya karena masyarakat jadi berpikir bahwa laki-laki ‘sejati’ seharusnya bersifat dan berpenampilan seperti itu, serta mendiskreditkan lelaki yang tidak mengikuti norma tersebut.

Tidak jarang laki-laki yang tidak mengikuti nilai-nilai maskulinitas mengalami kritikan, ledekan, bahkan kekerasan secara fisik dari orang lain. Selain cerita singkat tentang teman SD saya yang disuruh untuk bersikap ‘lebih seperti laki-laki’ oleh lingkungan sekitarnya, teman lelaki saya yang lain pun pernah mengalami hal yang sama. Beberapa kali, ia diganggu karena memiliki pinggul yang lebih lebar dan suara yang cenderung cempreng dibanding laki-laki seumurannya. Walaupun teman saya mengatakan ia biasa saja jika diledek tentang penampilan dan suaranya, tentu tidak membuat ledekan-ledekan ini dapat diterima.

Sumber: 9gag.com via Pinterest

Ledekan atau kritikan yang datang dari masyarakat ketika seseorang kurang ‘maskulin’ atau ‘seperti laki-laki’ karena memiliki postur atau sifat tertentu sebenarnya berakar dari kepercayaan bahwa hanya ada satu cara untuk menjadi laki-laki, yaitu menjadi laki-laki yang maskulin: memimpin, tegas, tidak cengeng, tidak banyak omong.

Ketika saya menanyakan kepada teman-teman perempuan, mereka mengatakan laki-laki seharusnya dewasa dan hanya bicara jika diperlukan. Banyak dari mereka yang juga mengatakan bahwa seorang laki-laki dianggap maskulin ketika ia tidak banyak bicara, memiliki badan yang tinggi besar, serta pintar olahraga. Saya tidak menyalahkan teman-teman saya karena memiliki pemikiran seperti ini. Saya paham bahwa pemikiran ini ada karena memang ide-ide seperti itu yang ditanamkan di otak kita sejak kecil. Saya hanya menyayangkan karena jawaban mereka membuktikan bahwa narasi maskulinitas yang ada di masyarakat masih bersifat tunggal, bahwa hanya ada satu definisi ‘laki-laki maskulin’ yang melekat di masyarakat dan ketika seorang lelaki tidak bertindak sesuai definisi tersebut, ia akan langsung dianggap kurang maskulin.

Sumber: Renaissance Youth Leaders Forum via boredpanda.com

Saya juga tidak mau munafik — dulu saya sering membatin ketika ada seorang laki-laki yang memiliki gaya bicara yang ‘kurang maskulin’ atau meledek teman lelaki saya yang suka bergosip dengan kalimat-kalimat semacam, “Gosip mulu lo, kayak cewek”. Padahal bukankah tidak ada aturan laki-laki tidak boleh bergosip, bahwa laki-laki hanya bisa memiliki satu gaya bicara? Apakah ketika seorang laki-laki memiliki pinggang yang lebar dan tidak suka olahraga berarti ia bukan laki-laki, bukan seseorang yang maskulin? Nilai-nilai patriarki dan maskulinitas toksik yang begitu tertanam dalam diri dan lingkungan kitalah yang menyatakan seperti itu, yang membuat kita berpikir bahwa hanya ada satu cara bagi seorang laki-laki untuk menjadi maskulin dan dianggap bersikap ‘seperti seorang laki-laki’.

Saat tumbuh dewasa, kebanyakan lelaki diajarkan bahwa hanya ada satu cara untuk menjadi pria. Ketika seorang anak laki-laki jatuh dan mau menangis, orangtuanya selalu berkata, “Jangan nangis, kamu kan, cowok.” Ketika seorang laki-laki bertemu teman perempuannya yang membawa banyak barang, pihak perempuan sering kali berkata, “Bantuin dong, lo kan cowok. Narasi — yang terkesan remeh — seperti inilah yang kemudian menimbulkan konsepsi di benak kita bahwa laki-laki tidak boleh menangis dan harus kuat, tidak boleh tampak rapuh, apalagi lemah.

Karena ekspektasi dari sekitar, laki-laki merasa bahwa untuk membuktikan identitasnya sebagai laki-laki, mereka harus melakukan berbagai cara agar terlihat maskulin. Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang memang menyukai hal-hal yang ‘tidak maskulin’? Identitas gender laki-laki yang selalu dikaitkan dengan maskulinitas membuat banyak lelaki tidak bisa bebas mengekspresikan kesukaan dan sifat asli mereka. Padahal, gender sendiri sebenarnya hanya konsep yang dikonstruksi secara sosial, yang membedakan peran maskulin dan feminin.

Seorang laki-laki boleh saja menangis, boleh saja banyak bicara, boleh saja menggunakan gestur tangan yang banyak. Hal-hal ini tidak seharusnya membuatnya lebih ‘tidak laki-laki’ dibanding pria lainnya. Jadi, mengapa kita masih sering mengkritik mereka yang tidak mengikuti nilai-nilai maskulinitas di masyarakat? Sepertinya, sekarang sudah saatnya bagi kita untuk membuka mata, melebarkan cara pandang, dan menerima bahwa tidak hanya ada satu cara untuk menjadi laki-laki.

Sumber: NSVRC via Tumblr

Referensi
Alexander, A., Welzel, C. (2011). Islam and patriarchy: how robust is Muslim support for patriarchal values? International Review of Sociology, 2(2), 249–276.

Samovar, L. A., Porter, R. E., & McDaniel, E. R. (2013). Communication Between Cultures. Boston: Wadsworth, Cengage Learning.

Van Wichelen, S. (2009). Polygamy Talk and the Politics of Feminism: Contestations over Masculinity in a New Muslim Indonesia. Journal of International Women’s Studies, 11(1), 173–188.

Wadud, A. (2009). Islam Beyond Patriarchy Through Gender Inclusive Qur’anic Analysis. Wanted: Equality and Justice in the Muslim Family, 95–112.

Tulisan ini dibuat untuk tugas akhir semester mata kuliah Media dan Komunikasi Antarbudaya.

--

--

Sashi Kirana

I write stuffs sometimes — both in Indonesian and (broken) English. Some things are personal, others are fictional.